Terbaru

7/recent/ticker-posts

Berpikir-Memikirkan, Merasa-Merasakan sebagai Proses Dasar untuk Membentuk Implementasi sikap dan Karakter Budaya



Bandung, Sundapos.com - Sejak puluhan ribuan tahun sebelum Masehi, menurut pendapat orang-orang baik dari kalangan ilmuwan, budayawan, dan spiritualis bahwa leluhur Bangsa Nusantara ini sudah beradab dan memiliki peradaban. Bukti-bukti peradabannya tersebar di Nusantara. Salah satunya yang secara khusus pernah menjadi polemik fenomena dan sorotan dunia hingga saat ini adalah Situs Cagar Budaya Nasional Gunung Padang di Cianjur-Jawa Barat.

Mungkin setelah berita itu viral dalam berbagai media masa hingga ke manca negara, terjadi polemik dan pro kontra serta beragam aktivitas dan upaya yang berusaha melestarikan kawasan dan warisan peninggalan leluhur Nusantara tersebut baik dari pihak pemerintah pusat hingga daerah setempat, publik dan warga setempat. Beragam aktivitas dan upaya pelestarian atau kajian tersebut bertujuan untuk menyibak "Tabir Misteri Temuan Peradaban yang ditengarai sebagai Warisan Peradaban Leluhur Dunia. Ada pula fenomena dari temuan itu berdampak pada adanya aktivitas wisata budaya, hingga wisata religi dan aktivitas yang ingin membuktikan serta mengungkapkan nuansa religiusitas dari berbagai temuan situs tersebut sebagai bukti bahwa leluhur Nusantara sejak sebelum adanya pengaruh sistem religi dari bangsa luar Nusantara sudah bereligi dan religius masyarakatnya.

Semua proses dinamika aktivitas dan upaya semua kalangan di atas merupakan bagian dari proses berbagai kalangan yang dilandasi dari aktivitas berpikir untuk memikirkan sesuatu sesuai dengan batas dari apa yang menjadi "pengetahuan dan penilaian" masing-masing individu, komunitas, institusi atau lembaga. Begitu juga dari proses dalam batas dari kemampuan mereka merasa hingga kemudian merasakan. Bisa jadi apa yang mereka pikirkan dan rasakan bersinergi dengan apa yang dipikirkan dan rasakan di masa lalu dari tujuan seluruh aktivitas atas peristiwa yang terjadi di Gunung Padang di masa lalu atau bisa jadi berbeda.

Misteri yang nyata ditemukan ini mungkin secara logika semata tidak akan secara komprehensif mampu mengungkap apa yang dipikirkan dan dirasakan saat leluhur mengawali dan mengembangkan serta memanfaatkan kawasan situs tersebut dan untuk orientasi sampai kapan keberadaanya. Sehingga, untuk mencoba terus memahami suatu warisan peradaban leluhur masa lalu, tidak cukup sampai pada metode berpikir untuk memikirkan dan merasa untuk merasakan namun mestinya sampai pada konteks "praktik" atau mengimplementasikan sebagai "sambung pikir, rasa dan spiritual" masa lalu di masa kekinian dengan berbagai cara dilandasi sikap kesadaran dan tanggung jawab untuk menelusuri jejak peradaban leluhurnya itu.

Hal memikirkan dan merasakan oleh seseorang atau publik juga bisa berlangsung ketika orang menyimak suatu fenomena tradisi budaya adat lokal Nusantara yang merupakan pintu upaya menemukan makna nilai tuntunan Peradaban Nusantara.

Mungkin diantara kita sering melihat hingga secara khusus menyimak beragam tontonan, pertunjukan, poto, video dari beragam fenomena tradisi budaya adat lokal masa lalu atau masa lalu yang diimplementasikan secara kekinian atau di masa kini. Bisa jadi ada yang menyimak selintas, sekedar tahu, penasaran bahkan sampai berusaha menyelami lebih dalam dengan maksud dan tujuan tertentu.

Namun, disayangkan ketika entah dengan cara atau sebatas mana fenomena tradisi adat lokal itu disimak, lalu muncul suatu jastifikasi yang bersifat negatif terhadap penilaian fenomena yang disimaknya dan dipublikasi sebelum benar-benar "dikoreksi secara matang" dengan keluasan hati. Bisa jadi pula hal itu dianggap sebagai "prejudice" atau "stereotipe" yang tentunya bersifat sementara. Namun bisa jadi dampak jastifikasi yang dipublikasikan itu bagi awam sebagai suatu "pembenaran" yang secara latah menjadi viral hingga akhirnya salah kaprah dan berujung sikap diskriminatif dan stigmatif.

Kalau sudah demikian, siapa yang bertanggungjawab? Atau bagaimana pertanggungjawaban "si pelaku awal penjastifikasian" yang sengaja mempublikasikan baik ada niat atau tidak mempengaruhi opini publik?
Dari pengalaman ini, sudah cukup banyak fenomena tradisi adat lokal sering menjadi sorotan negatif di mata publik yang kemudian "diamplivasi" dalam bentuk lain seperti sinetron, film, karikatur, dan sebagainya. Alih-alih menemukan makna tuntunan dari peradaban masa lalu yang tersimpan dalam implementasi fenomena tradisi adat lokal itu, malah terjadi "pembulyan", perusakan, penyingkiran, penistaan dan perebutan ruang budaya dan ruang hidup dari keberadaan fenomena tradisi adat lokal tersebut. Dalam hal ini yang dimaksudkan pada konteks fenomena tradisi budaya adat lokal/ daerah di Nusantara.

Kiranya, proses berpikir untuk memikirkan, merasa untuk merasakan berkembang menjadi suatu implementasi sikap atau karya dari perilaku manusia itu terbentuk sejak kecil. Peran bimbingan, pendidikan informal dari keluarga dan lingkungan sekitar serta pendidikan formal mempengaruhi cara berpikir, merasa hingga pembentukan sikap, karakter dan pola sosial manusia. Ditambah lagi pengaruh arus informasi luar dari dampak perkembangan teknologi informasi yang masif merebak ke seluruh pelosok wilayah di dunia ini. Oleh karena itu suatu pengetahuan budaya masa lalu baik melalui penjelasan berbagai temuan peradaban luhur leluhur berupa artefak yang berada dalam suatu kawasan situs atau yang sudah ditata dalam museum, termasuk praktik tradisi adat dan hukum adat dari komunitas dan masyarakat etnik yang masih berkembang hingga kini, bisa jadi merupakan pondasi penting untuk membentuk pola pikir kedaulatan budaya suatu bangsa pada generasi kekinian dan setiap generasi selanjutnya.

(Ira Indrawardana. Antropolog UNPAD. April 2024)

Posting Komentar

0 Komentar